Kamis, 14 November 2013

Teh Bisa Menyulut Konflik Pasutri

  • Oleh : Cahyadi Takariawan


    Pada postingan terdahulu telah saya sampaikan mengenai konflik pasangan suami isteri (pasutri) yang bersumber dari karakter personal yang tidak mau mengalah. Suami dan isteri memiliki karakter yang sama, tidak ada yang mau mengalah demi kebaikan bersama. Masih ingat postingan saya sebelumnya kan, bahwa kancing baju, pasta gigi dan nasi soto saja bisa membuat pasutri bertengkar. Ini karena ego yang diperturutkan dan masing-masing merasa gengsi jika sampai tampak kalah dan lemah di hadapan pasangan.
    Saya masih mengutip artikel ringan di blog http://supermancakep.wordpress.com tentang  “Empat Penyebab Konflik yang Enggak Banget”. Dalam artikel itu diceritakan bahwa teh juga bisa menjadi penyulut konflik. Ini teh sungguhan ya, yang biasa kita minum. Bukan teteh asal Sunda ya… Bukan teh manis yang sangat banyak di Sunda, seperti Teh Mimin, Teh Mirna, Teh Sinta dan teman-temannya. Bukan teh yang ini, tapi air teh yang menjadi minuman masyarakat di berbagai berbagai belahan dunia.
    Konflik karena Teh
    Bagaimana anda membuat minuman teh? Apakah gula anda masukkan ke dalam gelas, kemudian dituang air teh yang sudah diseduh, atau air teh dimasukkan dulu ke dalam gelas baru ditambahi gula? Contoh perbedaan lainnya jika menggunakan teh celup, apakah teh celup ditaruh dalam gelas kemudian dituang air panas; atau air panas dituang ke dalam gelas dulu, baru dimasukkan teh celup ke dalamnya? Apakah hal ini sedemikian nyata perbedaannya dan harus menjadi sumber konflik?
    Suatu pagi, seorang suami sengaja memperhatikan bagaimana cara isterinya membuat teh selama ini. Diam-diam ia ke dapur dan memperhatikan isterinya tengah membuat minuman teh.
    Suami                        : “Naaah pantas selama ini rasa tehnya tidak enak… Ternyata cara adek membuat teh salah….”
    Isteri                : “Salah bagaimana? Dari dulu beginilah aku membuat teh…”
    Suami                        : “Harusnya, adek tuang air panas ke dalam gelas, baru adik masukkan teh celupnya….”
    Isteri                : “Lalu apa bedanya dengan cara adek? Sama saja abang…”
    Suami                        : “Beda, Adek. Kalau teh celupnya dimasukkan gelas baru dituang air panas, zat-zat kimia yang ada di dalam pembungkus teh celup itu semakin banyak yang ikut terlarut. Jadinya teh kita tidak sehat…”
    Isteri                : “Kan sama saja Bang… Kalau air panas sudah di dalam gelas, lalu teh celup dimasukkan ke dalam air panas, bahan kimianya larut juga kan? Jadi itu tidak ada bedanya….”
    Pagi itu mereka berdua gagal menikmati kehangatan teh, karena waktunya habis digunakan untuk bertengkar soal cara membuat air teh. Perhatikan, betapa banyak sekali waktu terbuang, betapa banyak perasaan tertekan, hanya karena menuruti sifat diri yang tidak mau mengalah kepada pasangan. Sekedar kancing baju, pasta gigi, nasi soto dan air teh, semua bisa menyulut konflik yang tidak mengenakka hati dan perasaan.
    Bisa dibayangkan, selepas konflik itu hati suami menjadi tidak nyaman saat berangkat bekerja. Hati isteri tidak nyaman saat melakukan aktivitas selanjutnya. Ini semua karena masng-masing mempertahankan ego dan tidak ada yang mau mengalah demi kebaikan bersama.
    Apa Sulitnya Mengalah?
    Oleh karena itu, yang diperlukan adalah sikap mengalah. Sikap dewasa dalam mensikapi perbedaan pendapat, perbedaan keinginan, perbedaan kepentingan, dan perbedaan lainnya yang pasti terjadi. Rumusnya sederhana : siapa yang lebih cepat mengalah, siapa yang lebih mudah menundukkan ego, dialah yang paling dewasa dan paling mengerti makna kebersamaan dalam keluarga.
    Mengalah demi kebaikan bersama adalah sebuah tuntutan untuk melanggengkan kebahagiaan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga. Mengalah itu tidak sama dengan kalah. Bahkan dalam tradis Jawa, ada ungkapan luhur “menang tanpo ngasorake”, menang dengan jalan tidak merendahkan atau menang tanpa mengalahkan lawan. Dalam ungkapan luhur lainnya, “wong ngalah dhuwur wekasane”. Orang yang mengalah, akan menempati posisi tinggi di akhirnya.
    Bahkan ungkapan, “Ya sudah, aku mengalah. Sebenarnya aku tidak salah, tapi lebih baik aku mengalah”… ini pun bukan ungkapan orang mengalah. Karena jika memang mengalah, tidak perlu dinarasikan bahwa dirinya tengah mengalah. Ungkapan itu justru menunjukkan bahwa dirinya tidak mengalah.
    Yang diperlukan adalah kesadaran yang tulus, bahwa kedua belah pihak harus berlomba untuk mengalah demi kebaikan bersama. Kedua belah pihak berlomba untuk menundukkan ego, demi keutuhan keluarga. Kedua belah pihak berlomba meminta maaf, demi keharmonisan rumah tangga. Kedua belah pihak berlomba saling memaafkan, demi kebahagiaan bersama. Kedua belah pihak saling mementingkan tercapainya kehidupan keluarga yang harmonis, penuh cinta kasih, dan bahagia selamanya.

0 komentar:

Posting Komentar